Adat dan Istiadat
Banten
Adat dan Budaya Banten
Sebagai orang Banten, kalian harus tau dong tentang apa aja adat
istiadat nya, rumah adat nya, senjata nya, budaya nya dan hal hal lain yang
wajib kita lestarikan sebagai warga negara Indonesia khusus nya orang Banten
·
Agama, Budaya dan Nilai
a) Agama
Sebagian besar anggota masyarakat memeluk
agama Islam dengan semangat religius yang tinggi,
tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.
b) Budaya
Potensi, dan kekhasan budaya masyarakat
Banten, antara lain seni bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari
Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan
warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang,
dan masih banyak peninggalan lainnya.
1. Pencak Silat
Pencak silat merupakan seni beladiri yang
berakar dari budaya asli bangsa Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi
silat sudah menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat
secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh
kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15 di
Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran
agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi
satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari
sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela
negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi
bagian dari latihan spiritual.
Banten yang namanya sangat dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak
terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan
gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak
silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang
didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin.
Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat
sebagai alat untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal
ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai
berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan kerajaan dan
masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah.
Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan
diakui secara luas dengan pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang
yang mahir dalam ilmu silat.
2. Debus
Debus merupakan kesenian bela diri
dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa
pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu
kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata
tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh,
menggoreng telur di kepala dan lain-lain.
Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata
tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk
sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya
tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain.
Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada
dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak,
mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api,
memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak
terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi
dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras
sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca,
membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.
Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian
melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang
mengajarkannya.
3. Rudat
Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten
yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang
berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah
musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang (pemain
musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut beberapa tokoh
Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini.
Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni
Rudat mulai ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten
II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).
Tidak banyak yang mengetahui siapa yang
menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang mengetahui seluk-beluk
Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag berisi sejarah
Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki oleh satu
sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah
yang menjadi sesepuh disana.
Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila
meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian.
Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi
tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi
rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam
acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten.
Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun
Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin
Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang
Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih
bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.
4. Tari Dzikir
Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda dengan
Saman yang ada di Aceh, disini para pemainnya terdari dari laki-laki dengan
membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil menyebutkan shalawat Nabi Muhammad
SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi dengan perangkat alat musik, hanya
nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok dan gerakan tubuh yang
berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya dalam acara tertentu
seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.
5. Ubrug
Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu
saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug
ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang
berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil
dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan,
maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi
atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu
kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung
angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa
oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco
yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan
kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya
disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton.
Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan
sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh
sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai
pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat
sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita
yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan
menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau
yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari
beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya
dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30
menit.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang
bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu
blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong
atau lampu petromak.
Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan
daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi
arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang
tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala
arah.
6. Tari Cokek
Cokek adalah sebuah
tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali pertama sekitar
abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang tuan
tanah
Tionghoa di Tangerang yang sedang merayakan
pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa orang ternama
yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek mengundang juga tiga orang musisi yang
berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para musisi Cina hadir sambil membawa
beberapa buah alat musik dari negara asalnya.
Salah satu alat musik
yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek, musisi itu
kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat
yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik
tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.
Lantunan nada dari
perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal dengan
nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek menghadirkan
tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari mengikuti
alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta
menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi anak buah
Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi Banten mulai
mengenal nama tari Cokek.
Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang.
Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek.
Jika awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai selendang.
Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Lantunan musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat menari bersama penari Cokek.
Jika pertunjukan Cokek
diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak
pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika
diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu
kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari bersama penari Cokek.
Tanda ajakan dari penari yakni sehelai
selendang yang dikalungkan ke leher para tamu. Masyarakat Tangerang
beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek telah dikalungkan,
pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan itu diyakini
dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang
nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari Cokek
7. Dog Dog Jor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat
Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di
sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski
kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai
tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai
petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini
masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh
adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan
prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan
pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya.
Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal
fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami
perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan
acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor
adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini
mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking,
dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah
enam orang.
c) Nilai
Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi
antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku
Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas
5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya
terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini
dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara,
dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.
- SUKU BADUY
Orang Kanekes atau orang
Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau
sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
Wilayah kanekes bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda
dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia
ketika berdialog dengan penduduk luar.
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu
adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang
paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy
dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam
adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta
mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau
dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar
wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2
kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
n yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu
Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara
rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan
mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari
hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki,
umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk
mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
·
Bahasa
Penduduk asli yang hidup di Provinsi Banten
berbicara menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno. Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar
dalam bahasa Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan
dari tingkat halus sampai tingkat kasar (informal), yang pertama tercipta pada
masa Kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian timur Provinsi Jawa Barat).
Namun, di Wilayah Banten Selatan Seperti Lebakdan Pandeglang menggunakan bahasa Sunda Campuran Sunda
Kuno, Sunda Modern, dan bahasa Indonesia, di Serang, dan Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan oleh etnik Jawa. Dan, di
bagian utara Kota Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang beretnis
Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan dialek Betawi, bahasa Indonesia juga
digunakan terutama oleh pendatang dari bagian lain Indonesia.
·
Senjata tradisional
Golok adalah senjata tradisional di Banten
sama seperti senjata tradisional Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
·
Rumah adat
Rumah adatnya adalah rumah panggung yang
beratapkan daun atap, dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang
dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik (gedek). Untuk penyangga
rumah panggung adalah batu yang sudah dibuat sedemikian rupa berbentuk balok
yang ujungnya makin mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk
beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh
orang Kanekes atau disebut juga orang Baduy.
0 komentar:
Posting Komentar